Minggu, 10 Februari 2008

Mendidik dan Membangun Melalui 4 Pilar

Pada tahun 2003 terbit sebuah buku berjudul “HEROIC LEADERSHIP. Best Practices from a 450 Year Old Company that Changed the World”, yang ditulis oleh Chris Lowney. Kemudian pada tahun 2005 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Praktik Terbaik ‘Perusahaan’ Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia”. Barangkali banyak dari antara kita yang sudah membacanya dan memperoleh sesuatu dari situ.

Pokok perhatian buku ini adalah soal kepemimpinan, lebih khusus lagi kepemimpinan yang diinspirasikan oleh para Yesuit, sejak awal pendirian Serikat Yesus (tahun 1540) sampai dengan detik ini. Disampaikan kepada kita bagaimana sang Pendiri Yesuit, Ignatius de Loyola, dan kelompok awal mewariskan sebuah modus kepemimpinan yang mendobrak trend zamannya, bertahan terus sampai sekarang, dan mulai mencuat sebagai trendsetter model kepemimpinan zaman ini. Ada empat prinsip yang ditawarkan mengenai kepemimpinan: kita semua memimpin sepanjang waktu, maka kita adalah pemimpin; kepemimpinan timbul dari dalam; kepemimpinan adalah cara hidup, the way of life; menjadi pemimpin adalah proses pengembangan diri terus menerus. Model kepemimpinan seperti ini disebut corporate culture, yang meyakini bahwa kepemimpinan tidak dibatasi oleh kesempatan, tetapi oleh mutu respons seseorang. Kepemimpinan seperti ini dikembangkan dan dibangun atas dasar empat pilar yang oleh para Yesuit disebut nuestro modo de proceder (the way we do things).

Kalau ditelaah lebih jauh, model kepemimpinan seperti ini bukanlah monopoli Ignatius de Loyola dan para Yesuit. Banyak orang atau pihak yang memiliki dan telah mempraktikkannya. Hanya apakah itu sungguh disadari benar, inilah yang membedakan. Nah, pada titik inilah saya tergelitik dan tersadarkan bahwa model itu ada dalam Kongregasi saya, dan sungguh telah diangkat pada tataran praksis oleh Pater Berthier, sang Pendiri. Lewat angle dan teropong pandang inilah, saya menemukan perspektif lain dan inspirasi dari sosok pribadi Pater Berthier. Mari kita meneropong kehidupan P. Berthier dengan teropong ini dan semoga memperoleh inspirasi dari situ.

Empat Pilar

Kepemimpinan yang dibangun di atas keempat pilar akan menciptakan substansi kepemimpinan : kesadaran diri (self-awareness), ingenuitas (ingenuity), cinta kasih (love), dan semangat heroisme (heroism)

Self-awareness. Kesadaran diri berarti seseorang memahami siapa dirinya dan apa yang dianggap bernilai, dengan menjadi sadar akan titik-titik kelemahan yang tersembunyi atau kelemahan-kelemahan yang dapat membuat dia menyimpang, dan dengan memelihara kebiasaan refleksi diri dan belajar tanpa henti. P. Berthier tahu betul siapa dirinya dan apa yang bernilai baginya. Dia memutuskan untuk menjadi imam dan bergabung dengan para misionaris La Salette (MS). Imamat baginya bukan cita-cita, melainkan panggilan hidup. Maka ia sungguh mempersiapkan dirinya untuk karyanya sebagai imam. Dia belajar sungguh-sungguh dan memanfaatkan semua bakat serta waktu yang dimiliki, bahkan sampai mengucapkan kaul waktu. Kondisi fisik dan kesehatannya yang kurang mendukung tidak menjadi alasan untuk permisif terhadap diri sendiri. Kita mewarisi banyak karyanya dalam bentuk buku dan tulisan. Tapi bukan itu yang terpenting. Hal yang terpenting adalah semangat yang mampu menghasilkan itu semua.

Hanya orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat mengejarnya dengan penuh semangat dan mengilhami orang lain untuk berbuat demikian. Hanya orang yang telah mampu menandai kelemahan-kelemahannya sendiri dapat mengatasi kelemahan-kelemahan itu. Kesadaran diri tidak pernah menjadi produk instan yang sekali jadi dan mudah diperoleh di toko-toko.

Ingenuity. Ingenuitas berarti kemampuan membuat diri sendiri dan orang lain merasa nyaman hidup dalam dunia yang terus berubah. Seseorang ingin sekali mengeksplorasi gagasan, pendekatan, dan budaya baru, bukannya bersikap defensif menarik diri dari apa yang diam-diam menghadang di tikungan hidup selanjutnya. Tertambat pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang tak dapat ditawar, seseorang dengan semangat ingenuitas memelihara sikap « lepas bebas » yang memungkinkan ia beradaptasi dengan penuh keyakinan diri. Dengan bahasa lain, orang dengan semangat ingenuitas hidup dengan satu kaki terangkat untuk selalu siap sedia merespons setiap peluang yang muncul.

Situasi MS yang diancam oleh kekurangan tenaga dipecahkan P. B erthier dengan gagasan brilian mendirikan sekolah apostolik. Tidak sekedar meniru sekolah apostolik yang sudah ada, dia mendirikan dengan gaya dan pendekatan sendiri. Anjuran Sri Paus akan tenaga misionaris dan banyaknya panggilan terlambat ditanggapi oleh P. Berthier dengan mendirikan Kongregasi MSF. Kekerasan hati para pembesar MS tidak menamatkan cita-citanya. Ia terus mencari cara dan terobosan demi memenuhi tenaga pekerja di kebun karet Tuhan. Situasi Prancis yang tidak memungkinkan memulai karya baru ini, mengarahkannya ke Grave, Belanda. Kekurangan tenaga pengajar di Grave diatasi dengan sistem kakak membimbing adik. Ia berusaha merespons peluang yang diberikan Tuhan. Bukan seberapa besar peluang yang datang, tapi seberapa besar respons yang diberikan kepada setiap peluang yang ada. P. Berthier menjadikan seluruh dunia rumahnya sendiri, tempat ia dengan nyaman bermain, belajar, berdoa, dan tinggal di dalamnya. P. Berthier membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan, prasangka-prasangka, preferensi-preferensi budaya yang diwarisi, dan sikap ‘kita selalu menempuh cara ini’ – barang bawaan yang menghambat respons adaptif yang cepat.

Love. Cinta kasih : dengan cinta kasih yang lebih besar daripada ketakutan. Dengan cinta kasih, seseorang menghadapi dunia dengan pemahaman yang sehat dan yakin tentang diri sendiri yang dianugerahi bakat, harkat, dan potensi untuk memimpin. Sifat-sifat yang sama ini ditemukan juga dalam diri orang-orang lain dan dengan semangat berkobar berkomitmen untuk menghormati dan membuka tali kekang potensi yang ada dalam dirinya dan orang-orang lain itu. Mereka menciptakan lingkungan yang terikat dan disemangati oleh kesetiaan, afeksi, dan sikap saling mendukung. Jangan pernah menolak orang yang berbakat, juga siapa pun yang berkualitas.

Kita masih ingat bagaimana komunitas pertama di Grave berjuang untuk survive. Banyak yang masuk dan banyak pula yang keluar, sampai akhirnya terbentuk semacam komunitas inti. Kita juga tentu ingat rasa hormat dan kagum yang diberikan para siswa kepada P. Berthier. Rumah yang ditandai oleh kemiskinan teramat ekstrem memancarkan cahaya yang gilang gemilang sebagai surga bagi benih pertama MSF berkat semangat cinta kasih ini. P. Berthier menggoreskan teori dan memberikan pelajaran cinta kasih lewat praksis yang dirajut dalam hidup bersama dengan para siswa. Potensi setiap anggota komunitas dibuka demi hidup bersama yang lebih baik. Mereka mendapat semangat dengan bekerja sama dan untuk rekan yang menghargai, mempercayai, dan mendukung mereka. Komunitas ini diikat dengan kesetiaan dan afeksi, bukan dicabik-cabik dengan praktik menusuk dari belakang dan kebiasaan saling menyalahkan atas peristiwa yang sudah terjadi.

Semangat cinta kasih yang ditunjukkan P. Berthier dan komunitas purba MSF jauh lebih besar dari ketakutan akibat perbedaan budaya dan bahasa, situasi kemiskinan yang ekstrem, dan masa depan yang masih menggantung di awang-awang.

Heroism. Semangat heroisme membayangkan masa depan yang inspiratif dan berjuang untuk mewujudkannya ketimbang pasif menyaksikan masa depan terjadi di sekeliling kita. Pahlawan dan pemenang mengeluarkan emas dari peluang yang ada daripada menunggu peluang emas disodorkan kepada mereka. Semangat heroisme membangkitkan hasrat yang besar. Ini semacam daya magis yang melecut diri untuk selalu menghasilkan lebih. Seseorang dengan dorongan magis ini tidak pernah puas melaksanakan kewajiban an sich atau menerima status quo, melainkan cenderung gelisah mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih besar. Dengan kata lain, orang akan selalu gelisah untuk sampai pada limit rahmat yang diterimanya dari Allah. Ia akan bersikap seolah-olah dunia tergantung pada apa yang sedang dikerjakannya.

P. Berthier tidak pernah puas dengan pelajaran yang diterimanya di sekolah dan seminari. Ia menambah dan memperkaya diri dengan macam-macam bahan demi karyanya sebagai imam. Daya magis yang hidup dalam dirinya memampukan ia pergi ke Belanda hanya dengan satu koper butut dan basis finansial yang kurang memadai. Ia menggantungkan cita-citanya di langit dan berusaha keras terbang meraihnya. Ketika karya misi di Norwegia dan Kalimantan dan Jawa ditawarkan kepada Kongregasi yang masih muda itu, para pendahulu kita tanpa ragu menyabetnya dan menghasilkan emas dari peluang itu. Para pendahulu kita di Kalimantan juga dengan semangat magis yang berkobar menjelajah hutan dan sungai Kalimantan menyebarkan warta suka cita pembebasan tahun rahmat Tuhan telah datang. Kini kita dengan penuh hormat kagum memandang keempat keuskupan dan banyak karya yang menjadi bukti semangat heroik mereka. Apakah kita siap dan mampu mengembangkan karya-karya itu dengan semangat heroisme yang sama ?

So, what ?

Kesadaran diri, ingenuitas, cinta kasih, dan heroisme. Bukanlah empat tekhnik, melainkan empat prinsip yang membentuk sebuah cara hidup, sebuah modo de proceder (cara bertindak). P. Berthier tidak pernah mengajarkan keempat pilar ini. Ia menghidupinya dan menularkannya kepada para siswa, dan para siswa menyampaikannya kepada kita kini dan di sini. P. Berthier adalah pemimpin dan membentuk kita menjadi pemimpin juga. Ia mengeluarkan kemampuan memimpin kita masing-masing sebagai anggota MSF.

Dengan perkataan lain, P. Berthier memperlengkapi para calon MSF untuk berhasil dengan membentuk kita menjadi pemimpin yang :

  • memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, dan pandangan hidup kita
  • berinovasi dan beradaptasi dengan yakin untuk merangkul seluruh dunia
  • membangun kontak dengan orang lain dalam sikap yang positif, penuh cinta kasih
  • menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi heroik.

Apakah kita sudah tertular virus P. Berthier ini ???

Tidak ada komentar:


KELUARGAKU - HARAPANKU

KELUARGAKU - HARAPANKU